Ditulis oleh Admin pada 25 November
2011
Alhamdulillah.
Segala puji bagi Allah Yang memiliki keagungan dan kemuliaan, Yang memiliki
kekuatan dan kenikmatan, Yang memberikan karunia kepada kita dengan kenikmatan
iman dan Islam, Yang menjadikan perputaran tahun sebagai sebab perpindahan
manusia dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat. Shalawat dan salam
semoga tercurahkan kepada junjungan kita Muhammad, pemuka manusia yang terbaik
dalam berhaji, bershalat dan berpuasa, dan juga kepada para keluarga dan para
sahabatnya panutan umat.
Amma
ba’du.
Bulan
Muharram telah datang kepada kita. Dengan datangnya bulan yang penuh berkah
ini, kita menyambut tahun baru 1433 H dan meninggalkan tahun sebelumnya 1432 H.
Kita memohon kepada Allah untuk menjadikan datangnya tahun hijriyah ini sebagai
datangnya kebaikan, keberkahan, kemenangan dan penguatan kepada Islam dan kaum
muslimin, insya Allah.
Bulan
Muharram adalah termasuk dari bulan-bulan haram. Disebutkan di dalam hadits
Nabi SAW berkenaan dengan turunnya firman Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram” (QS. At-Taubah: 36)
bahwa
yang dimaksud empat bulan haram tersebut adalah Dzulkaidah, Dzulhijjah,
Muharram dan Rajab. Juga disebutkan di dalam hadits yang lain bahwa paling
utamanya puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa bulan Muharram. Berpuasa
satu hari di bulan Muharram menyamai puasa tiga puluh hari.
Oleh
karena itu, seharusnya bagi kita untuk menyambut bulan yang penuh berkah ini
dengan taubat nashuha, dan berubah dari keadaan yang buruk yang pernah
dilakukan sebelumnya menuju ke keadaan yang baik.
Bulan
Muharram ini dijadikan patokan sebagai awal tahun untuk penanggalan hijriyah
yang baru, meskipun sesungguhnya peristiwa hijrah Nabi terjadi pada bulan
Rabi’ul Awwal, akan tetapi bulan Muharram ditetapkan sebagai bulan pertama
dalam penanggalan hijriyah. Hal itu terjadi pada tahun ke -17 H, pada masa
khalifah Umar bin Khatthab ra. Di saat itu para sahabat bersepakat menjadikan bulan
Muharram sebagai awal bulan dalam penanggalan hijriyah dikarenakan berbagai
pertimbangan, di antaranya, bahwa bulan Muharram adalah bulan yang tiba sesudah
kewajiban haji yang manusia dari berbagai penjuru menunaikannya. Pertimbangan
yang lain yaitu bahwa bulan Muharram adalah bulan yang di dalamnya tercetus
ketekadan berhijrah dimana manusia saat itu atau para sahabat Rasulullah SAW
bertekad untuk berhijrah. Munculnya tekad dalam kaitannya dengan hijrah yang ke
Habasyah dan juga ke Madinah ini terjadi pada bulan Muharram. Sehingga dengan
pertimbangan-pertimbangan itulah bulan Muharram dijadikan sebagai bulan pertama
dalam penanggalan hijriyah.
Seharusnya
pada bulan Muharram ini kita mempersiapkan diri untuk menyambutnya dengan tekad
kuat, usaha keras dan amal-amal kebajikan, serta menjadikan pada setiap
tahunnya lebih baik daripada tahun yang sebelumnya. Karenanya seseorang pernah
berkata,
“Wahai
pemalas, betapa banyak engkau mengulur-ulur taubatmu dari tahun ke tahun dan engkau
tidak tahu pada tahun manakah yang mendatangimu sebagai tahun yang penuh
kekurangan ataukah kesempurnaan”
Seputar
bulan Muharram ini banyak manusia memperingati peristiwa besar, yaitu hijrah
Nabi SAW dari kota Mekkah menuju ke kota Madinah. Dalam hal ini, istilah hijrah
mengandung dua makna: yaitu hijrah hissiyah dan hijrah ma’nawiyyah.
Adapun
hijrah ma’nawiyyah adalah manusia meninggalkan kemaksiatan dan bertaubat
kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, berubah dengan cara kehidupan
yang baru dan menuju jalan kehidupan yang baru yang membawanya, dengan tekad
kuat, usaha keras dan amal-amal kebajikan. Inilah yang dinamakan dengan hijrah
ma’nawiyyah. Nabi SAW menunjukkan hal ini pada Hadits Shahih yang menyebutkan,
“Seorang
muslim adalah yang menjadikan kaum muslimin aman dari lisan dan tangannya. Dan
seorang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari apa-apa yang dilarang
Allah atasnya”
Adapun
hijrah hissiyah adalah berpindahnya manusia dari suatu tempat ke tempat
lain, yaitu berpindahnya manusia dari tempat kekufuran dan kesyirikan menuju ke
tempat yang Islami. Hijrah dengan makna ini terbagi menjadi dua bagian:
1.
hijrah yang telah berlalu dan selesai, yaitu hijrahnya kaum muslimin dari
Mekkah dimana saat itu merupakan tempat yang penuh kekufuran dan kesyirikan,
menuju ke kota Madinah Al-Munawwarah. Hijrah yang seperti ini telah berakhir
dengan Fath Mekkah (peristiwa pembukaan kota Mekkah), dimana Rasulullah SAW
berkata,
“Tidak
ada hijrah setelah Fath (Mekkah)”
2.
hijrah yang sampai sekarang selalu ada, yaitu hijrahnya manusia dari suatu
tempat kekufuran dan kerusakan dimana kaum muslimin tidak sanggup untuk berdiam
disana dalam rangka melaksanakan agamanya dan mendidik anak-anaknya diatas
ajaran Islam. Di saat itulah wajib baginya untuk berhijrah menuju ke suatu tempat
yang Islami yang memungkinkan disana untuk melaksanakan agamanya. Hjrah dengan
makna ini sampai sekarang masih tetap ada. Setiap muslim yang tinggal di tempat
kekufuran, jika ia masih mampu melaksanakan agamanya dan mendidik anak-anaknya
dengan pendidikan Islam yang benar, maka tidak jadi masalah ia tetap bermukim
disana. Akan tetapi, jika ia tidak mampu melaksanakan ajaran Islam di tempat
tersebut, maka wajib baginya untuk berhijrah ke tempat yang Islami sehingga ia
mampu melaksanakan ajaran agama Islam disitu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri,
(kepada mereka) malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?.’ Mereka
menjawab, ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).’ Para
malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah
di bumi itu?.’ “ (QS. An-Nisa’: 97).
Inilah
makna istilah hijrah. Dan hijrah yang paling agung yang tercatat dalam sejarah
adalah hijrahnya Nabi SAW. Selanjutnya adalah hijrahnya para nabi dan rasul.
Tercatat di dalamnya adalah hijrahnya Nabi Ibrahim dari Mesir menuju Palestina,
dan hijrahnya Nabi Musa dari Mesir menuju Madyan sebagaimana yang difirmankan
oleh Allah,
“Dan
Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan
memberi petunjuk kepadaku.’ “
(QS. Ash-Shaaffaat: 99)
dan
ayat-ayat lain yang membicarakan tentang hijrahnya kaum Muhajirin. Istilah kaum
Muhajirin sendiri adalah suatu julukan bagi para sahabat yang ikut berhijrah
dari Mekkah menuju kota Madinah. Sedangkan bagi para sahabat yang berdiam di
kota Madinah disebut dengan kaum Anshar. Dan mereka semua adalah dalam kebaikan
dan petunjuk.
Maka
sudah seharusnya pada bulan Muharram ini kita menyebarkan kisah tentang
hijrahnya Nabi SAW. Disebutkan tentang hijrahnya beliau SAW terjadi pada malam
Kamis, hari pertama dari bulan Rabi’ul Awwal. Saat itu berkumpulnya (kaum
musyrikin) untuk menghabisi Nabi yang mana direncanakan dengan matang pada hari
Rabu terakhir pada bulan Safar, yaitu pada tanggal 29 Safar. Malam harinya,
yaitu malam Kamis awal dari bulan Rabi’ul Awwal, Nabi SAW berhijrah menuju kota
Madinah dan sampai disana pada hari ke-12 Rabi’ul Awwal. Kisah ini banyak
diceritakan di dalam kitab-kitab sejarah.
Pada
bulan Muharram ini juga banyak terjadi peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah
yang membawa kegembiraan dan kesedihan. Terlalu panjang untuk diceritakan
(disini), akan tetapi yang paling besar sepanjang sejarah, yang menghancurkan
hati dan menangiskan kalbu, adalah peristiwa syahidnya sayyidina Husain bin Ali
bin Abi Thalib ra di Karbala pada hari Asyura’, yakni hari ke-10 bulan
Muharram. Dan sampai sekarang pun masih terkenang bekas-bekas perbuatan keji
yang dilakukan oleh Yazid bin Muawiyah dan kroni-kroninya. Semoga Allah
membalas orang-orang yang berbuat hal itu dengan keadilan-Nya, bukan dengan
kemurahan-Nya. Adapun hakikatnya, sesungguhnya sayyidina Husain tidaklah
mendapatkan kecuali kesyahidan, kemuliaan yang agung dan derajat yang tinggi di
surga. Semoga Allah meridhoinya dan juga orang-orang mati syahid bersamanya
daripada keluarganya semuanya.
Dan
pada hari Asyura’ disunnahkan untuk berpuasa, sebagaimana sabda Nabi SAW,
“Berpuasa
pada hari Asyura’ menghilangkan dosa-dosa setahun sebelumnya.”
Puasa
Asyura’ ini sebelumnya merupakan suatu puasa wajib berdasarkan sumber-sumber
Islam yang paling kuat, kemudian di-naskh (diganti) dengan puasa Ramadhan.
Pada
hari Asyura’ ini seharusnya juga memberikan kelapangan pada keluarga karena
Nabi SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam Shahihnya,
“Barangsiapa
memberikan kelapangan kepada keluarganya pada hari Asyura’, Allah akan
memberikan kelapangan padanya sepanjang tahun.”
Setiap
amal kebajikan yang dituntut pada setiap waktu, juga dituntut pada hari-hari
yang suci, dan diantaranya adalah hari Asyura’ tanpa terkecuali. Akan tetapi
yang paling utama untuk hal itu adalah puasa dan memberikan kelapangan kepada
keluarga sebagaimana yang hadits-hadits shahih mengkhususkannya. Dan sudah
seharusnya bagi seorang mukmin untuk melakukannya dengan penuh semangat.
Disamping itu seharusnya seorang mukmin juga menambahkan amal-amal kebajikan,
seperti menyambung silaturrahmi, bersedekah, mengusap kepala anak yatim, dan
juga berziarah kepada orang-orang yang mempunyai keutamaan dan ilmu.
Kita
memohon kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala pada seputar tahun ini untuk
melimpahkan kepada kita kebaikan, keberkahan, kemenangan dan penguatan kepada
Islam dan kaum muslimin, insya Allah.
Shalawat
dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Muhammad, beserta keluarga
dan para sahabatnya. Dan segala puji bagi Allah penguasa alam semesta. Wa
Allohu wa Rosuluhu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar