COME AND JOIN US

Senin, 30 Januari 2012

Jilbabkanlah Hatimu


 


 Adakah kaum muslimin dan muslimah yang tak mengenal sosok Fathimah binti Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam? Rasanya tak mungkin! Beliau radiyallahu’anha satu-satunya putri Rasulullah shalallahu alaihi wassalam yang hidup mendampingi beliau hingga wafatnya beliau ke Rafiqil a’la. Fathimah az-Zahra radiyallahu’anha adalah ratu bagi para wanita di surga (Sayyidah nisa ahlil jannah). Pemahaman beliau tentang arti jilbab yang sesungguhnya sangat layak untuk disimak dan direnungi oleh para muslimah yang sangat merindukan surga dan keridhaan RabbNya. Sudah sempurnakah kita menutup aurat kita seperti apa yang difahami Shahabiyah?
Wahai saudariku muslimah yang merindukan surga Firdaus al-A’la…Shahabiyah yang mulia ini memandang buruk terhadap apa yang di lakukan wanita terhadap pakaian yang mereka kenakan yang masih menampakkan gambaran bentuk tubuhnya. Apa yang beliau tidak sukai itu beliau sampaikan kepada Asma radiayallahu’anha sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ummu Ja’far bahwasanya Fatimah binti Rasulullah shalallahu alaihi wassalam berkata:
“Wahai Asma’! Sesungguhnya aku memandang buruk apa yang dilakukan oleh kaum wanita yang mengenakan baju yang dapat menggambarkan tubuhnya.” Asma’ berkata : ‘”Wahai putri Rasulullah maukah kuperlihatkan kepadamu sesuatu yang pernah aku lihat di negeri Habasyah?” Lalu Asma’ membawakan beberapa pelepah daun kurma yang masih basah, kemudian ia bentuk menjadi pakaian lantas dipakai. Fatimah pun berkomentar: “Betapa baiknya dan betapa eloknya baju ini, sehingga wanita dapat dikenali (dibedakan) dari laki-laki dengan pakaian itu. Jika aku nanti sudah mati, maka mandikanlah aku wahai Asma’ bersama Ali (dengan pakaian penutup seperti itu ) dan jangan ada seorangpun yang menengokku!” Tatkala Fatimah meninggal dunia, maka Ali bersama Asma’ yang memandikannya sebagaimana yang dipesankan. ”
Syaikh Albani rahimahullah berkata : Perhatikanlah sikap Fatimah radiyallahu anha yang merupakan bagian dari tulang rusuk Nabi shalallahu alaihi wassalam bagaimana ia memandang buruk bilamana sebuah pakaian itu dapat mensifati atau menggambarkan tubuh seorang wanita meskipun sudah mati, apalagi jika masih hidup, tentunya jauh lebih buruk. Oleh karena itu hendaklah kaum muslimah zaman ini merenungkan hal ini, terutama kaum muslimah yang masih mengenakan pakaian yang sempit dan ketat yang dapat menggambarkan bulatnya buah dada, pinggang, betis dan anggota badan mereka yang lain. Selanjutnya hendaklah mereka beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya”
Wahai ukhti muslimah yang dirahmati Allah,…benarlah apa yang dikatakan oleh Syaikh Albani rahimahullah. Fitnah yang melanda kaum muslimah begitu deras dan hebat.Jika Fathimah radiyallahu’ anha saja tidak rela jasadnya tergambar bentuk tubuhnya tentulah dapat kita fahami bagaimana beliau mengenakan jilbab di masa hidupnya. Karena beliau sangat memahami perintah jilbab dengan pemahaman yang benar dan sempurna. Pemahaman beliau yang sangat mendalam ini jelas tersirat dari ketidaksukaannya yang beliau pandang sebagai suatu keburukan apabila seorang wanita memakai pakaian yang dapat menggambarkan lekuk tubuhnya.
Lalu bandingkanlah dengan apa yang dikenakan oleh sebagian kaum muslimah dewasa ini sangat jauh dari apa yang disyariatkan oleh Rabb mereka. Jauh panggang dari api.Mereka menisbahkan pakaian wanita dengan kerudung ala kadarnya yang sekedar menutupi leher-leher mereka tidak sampai menutupi dada dengan nama pakaian islami atau jilbab. Dan ironisnya yang memakainyapun merasa bahwa apa yang mereka pakai itu sudah benar karena melihat para artis di TV mengenakan yang demikian itu jadilah pakaian trendy ini menyebar begitu cepat dan menjadi pakaian pilihan utama mereka. Bahkan tentu terkadang kita melihat saudari kita yang memakai busana muslimah yang justru menambah fitnah karena nampak jelasnya lekuk tubuh mereka dengan penutup kepala yang melilit di leher (sehingga jenjang atau tidaknya bentuk leher terlihat sangat jelas) dan hanya sampai di bagian pundak saja tidak sampai ke dada disambung dengan pakaian ketat yang menggambarkan bentuk payudara mereka kemudian celana ketat yang menambah jelas lekukan tubuh mereka. Ada juga yang memakai abaya (gamis/pakaian terusan) memilih ukuran yang ketat daripada ukuran besar dan lapang dengan alasan agar nampak cantik dan modis! Sebagian adapula yang memakai penutup kepala dengan menyanggul rambut-rambut mereka hingga ketika mereka berjalan dapat dilihat dengan jelas ikatan rambut tersebut, karena sangat kecilnya penutup kepala yang mereka pakai maka merekapun mengikat rambut tersebut agar tidak menyembul keluar. Bukankah apa yang mereka pakai itu semua justru yang semestinya mereka jauhi karena Rasulullah shalallahu alaihi wassalam telah bersabda :
“Pada akhir ummatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakaian namun (hakekatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti terdapat bongkol (punuk) onta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka itu adalah kaum wanita yang terkutuk.”
Di dalam hadits lain terdapat tambahan :
“Mereka tidak akan masuk surga dan juga tidak akan memperoleh baunya, padahal baunya surga itu dapat dicium dari perjalanan (jarak) sekian dan sekian.”
Kemudian lihatlah penjelasan dari Ibnu Abdil Barr rahimahullah ia berkata:
“Yang dimaksud Nabi shalallahu alaihi wassalam adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian yang tipis, yang dapat mensifati (menggambarkan) bentuk tubuhnya dan tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itu tetap berpakaian namanya, akan tetapi hakekatnya telanjang.”
Dari Ummu Alqamah bin Abu Alqamah bahwa ia berkata :
“Saya pernah melihat Hafshah bin Abdurrahman bin Abu Bakar mengunjungi ‘Aisyah dengan mengenakan khimar (kerudung) tipis yang dapat menggambarkan pelipisnya, lalu ‘Aisyah pun tak berkenan melihatnya dan berkata : “Apakah kamu tidak tahu apa yang telah diturunkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surat An Nuur?!” Kemudian ‘Aisyah mengambilkan khimar untuk dipakaikan kepadanya.
Syaikh Albani menjelaskan perkataan Aisyah radiyallahu anha : Apakah kamu tidak tahu tentang apa yang diturunkan oleh Allah dalam surat An-Nuur? Mengisyaratkan bahwa wanita yang menutupi tubuhnya dengan pakaian yang tipis pada hakikatnya ia belum menutupi tubuhnya dan juga belum melaksanakan firman Allah Subahnahu wa ta’ala yang ditunjukkan oleh Aisyah radiyallahu anha yaitu “Dan hendaklah kaum wanita menutupkan khimar/kerudung pada bagian dada mereka”
Tidakkah kita melihat perbedaan yang sangat jauh antara generasi Shahabiyah dengan kita? Mereka benar-benar menjadikan jilbab sebagai penutup tubuh dan aurat sebagai bentuk ketaatan pada perintahNya sedangkan kita justru sebaliknya menjadikan jilbab sebagai pembuka fitnah kecuali wanita-wanita yang dirahmati Allah. Jilbab yang difahami shahabiyah sebagai pakaian yang lapang (lebar) yang menutupi tubuh dari atas kepala hingga ujung kaki sedangkan kaum muslimah sekarang menganggap jilbab adalah secarik kain yang digunakan untuk menutupi rambut mereka saja sedangkan bagian-bagian lainnya mereka tutupi dengan bahan yang ala kadarnya yang tidak bisa dikatakan menutupi aurat apalagi menutupi lekuk tubuh mereka. Kepada Allahlah kita memohon pertolongan semoga kaum kita mau kembali kepada Rabb mereka dan berusaha untuk menunaikan apa yang diperintahkan Allah dan rasulNya secara sempurna dan menyeluruh. Sebagaimana firmanNya yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu(Al-Baqarah :208).
Wallahu’alam bish-shawwab.

Jumat, 27 Januari 2012

Maulid Nabi Muhammad Shollallohu 'alaihi wa sallam


ﺑﺴﻡﺍﷲﺍﻟﺮﺤﻤﻦﺍﻟﺮﺤﻴﻡ
ﺍﻟﺤﻤﺩﺍﷲﺮﺏﺍﻟﻌﻟﻤﻴﻦ
ﺍﻟﻠﻬﻡﺼﻞﻋﻟﻰﻤﺤﻤﺪﻮﺃﻟﻪﻮﺼﺤﺑﻪﻮﺴﻠﻡ
Berawal dari keprihatian banyaknya tulisan terutama di ruang maya, mengenai pendapat yang mengganggap negatif dan ada pula yang terparah mengatakan kufur bagi umat islam yang melaksanakan peringatan maulid dengan satu titik pandang "segala sesuatu yang baru (bid'ah) adalah kufur". SUngguh tidaklah tepat hal tersebut terungkap dari sesorang yang mengaku muslim dan mengatakan saudara seimannya adalah kufur, Masya Allah. Semoga Allah memberikan anugerah cara pandang yang lebih luas bagi para anti maulid.
Bukan suatu hal yang aneh lagi bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal baik diperkampungan atau dipinggir perkotaan (dan bahakan dipusat kota) bila menjelang datangnya tanggal 12 Rabiul Awwal atau bertepatan dengan peringatan kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW, jauh sebelumnya sudah mempersiapkan peringatan Maulid Nabi sebagaimana yang pernah dilakukan secara meriah dimasa pemerintahan Sultan Salahuddin Al Ayyubi. Hal tersebut dilakukan dengan satu tujuan untuk mengenal lebih jauh mengenai Rasulullah, keluarganya dan para leluhurunya yakni untuk membangkitkan semangat keislaman. Semakin kita mengenal Rasulullah maka akan timbul kecintaan kita terhadap perjuangannya dalam menyiarkan agama Allah.
Terlepas dari anggapan sebagian kelompok (saat ini banyak yang anti maulid dengan tujuan melemahkan kecintaan umat islam kepada Nabi Muhammad, karena dengan tidak melaksanakan maulid, lambat laun umat islam akan menjauhi sunah nabi dan tidak lagi mencintai Nabinya) yang menyatakan peringatan maulid adalah Bid'ah dan lebih keras lagi dianggap SESAT. Toh perayaan tersebut ternyata punya nilai ibadah yang memang sangat didasarkan oleh Al Qur'an dan Hadist Rasul. Dalam suatu hadist yang diriwayatkan Bukhari, "bahwa Rasulullah pernah ditanya mengapa beliau melaksanakan puasa hari senin, dan beliau menjawab bahwa pada hari itu beliau dilahirkan".
Hadist tersebut menjelaskan secara explisit, bahwa beliau sendiri melaksanakan peringatan kelahiran (maulid) beliau dan kalau memang semua bid'ah itu sesat, lalu bagaimana halnya dengan pengumpulan Al Qur'an yang sekarang kita baca dan kita amalkan, bukankah itu bid'ah yang baik, atau juga melaksanakan haji dengan kendaraan saat bertolak dari madinah ke makkah dan sebaliknya. Atau barangkali kita tidak boleh sholat dengan menggunakan celana panjang, hanya lantaran Rasul tidak pernah shalat mengenakan celana. Sungguh sulit benar agama islam kalau begitu, kalau semua dianggap bid'ah.
Benar kalau dikatakan "setiap perbuatan baru (bid'ah) itu sesat". Tapi bid'ah dari segi yang mana. Kalau bid'ah yang memperbaruhi sifat ibadah pokok (rukun iman, rukun islam) itu baru sesat. Akan tetapi selain dari pada itu yang bertujuan untuk manfaat dan kemaslahatan tidak dipandang sesat, bahkan berpahala, selama tidak bertentang dengan kaidah ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah.
Bukan saya ingin mengatakan kalau ada yang tidak melaksanakan Maulid seperti kebanyakan orang dengan membaca kitab maulid (pada dasarnya kitab maulid adalah prosa yang berisi pujian dan shalawat kepada Nabi Muhammad yang maknanya juga lebih tepat dikaji secara prosa, dikutip dari pendapat Prof. Khotibul Umam, Majalah ALkisah) tidak mencintai Nabi, bukan dan tidak sama sekali!!. Akan tetapi perlu disadari banyak cara untuk mencintai Nabi melalui sunahnya, dan tidak perlu kita kemudian menganggap yang melaksanakan maulid adalah kufur, karena telah melakukan bid'ah, jangan, jangan, dan jangan. Hormatilah saudara seiman kita, toh tidak merugikan kita sendiri.

Memang Rasulullah SAW tidak pernah melakukan seremoni peringatan hari lahirnya. Kita belum pernah menjumpai suatu hadits/nash yang menerangkan bahwa pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal (sebagian ahli sejarah mengatakan 9 Rabiul Awwal), Rasulullah SAW mengadakan upacara peringatan hari kelahirannya. Bahkan ketika beliau sudah wafat, kita belum pernah mendapati para shahabat r.a. melakukannya. Tidak juga para tabi`in dan tabi`it tabi`in.

Menurut Imam As-Suyuthi, tercatat sebagai raja pertama yang memperingati hari kelahiran Rasulullah saw ini dengan perayaan yang meriah luar biasa adalah Raja Al-Mudhaffar Abu Sa`id Kukburi ibn Zainuddin Ali bin Baktakin (l. 549 H. - w.630 H.). Tidak kurang dari 300.000 dinar beliau keluarkan dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari peringatan maulid ini. Intinya menghimpun semangat juang dengan membacakan syi’ir dan karya sastra yang menceritakan kisah kelahiran Rasulullah SAW.

Di antara karya yang paling terkenal adalah karya Syeikh Al-Barzanji yang menampilkan riwayat kelahiran Nabi SAW dalam bentuk natsar (prosa) dan nazham (puisi). Saking populernya, sehingga karya seni Barzanji ini hingga hari ini masih sering kita dengar dibacakan dalam seremoni peringatan maulid Nabi SAW.

Maka sejak itu ada tradisi memperingati hari kelahiran Nabi SAW di banyak negeri Islam. Inti acaranya sebenarnya lebih kepada pembacaan sajak dan syi`ir peristiwa kelahiran Rasulullah SAW untuk menghidupkan semangat juang dan persatuan umat Islam dalam menghadapi gempuran musuh. Lalu bentuk acaranya semakin berkembang dan bervariasi.

Di Indonesia, terutama di pesantren, para kyai dulunya hanya membacakan syi’ir dan sajak-sajak itu, tanpa diisi dengan ceramah. Namun kemudian ada muncul ide untuk memanfaatkan momentum tradisi maulid Nabi SAW yang sudah melekat di masyarakat ini sebagai media dakwah dan pengajaran Islam. Akhirnya ceramah maulid menjadi salah satu inti acara yang harus ada, demikian juga atraksi murid pesantren. Bahkan sebagian organisasi Islam telah mencoba memanfaatkan momentum itu tidak sebatas seremoni dan haflah belaka, tetapi juga untuk melakukan amal-amal kebajikan seperti bakti sosial, santunan kepada fakir miskin, pameran produk Islam, pentas seni dan kegiatan lain yang lebih menyentuh persoalan masyarakat.

Kembali kepada hukum merayakan maulid Nabi SAW, apakah termasuk bid`ah atau bukan?

Memang secara umum para ulama salaf menganggap perbuatan ini termasuk bid`ah. Karena tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah saw dan tidak pernah dicontohkan oleh para shahabat seperti perayaan tetapi termasuk bid’ah hasanah (sesuatu yang baik), Seperti Rasulullah SAW merayakan kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa setiap hari kelahirannya, yaitu setia hari Senin Nabi SAW berpuasa untuk mensyukuri kelahiran dan awal penerimaan wahyunya.
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ” : فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم

Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.” (H.R. Muslim)

Kita dianjurkan untuk bergembira atas rahmat dan karunia Allah SWT kepada kita. Termasuk kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat kepada alam semesta. Allah SWT berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’ ” (QS.Yunus:58).

Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari. Hadits itu menerangkan bahwa pada setiap hari senin, Abu Lahab diringankan siksanya di Neraka dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Hal itu dikarenakan bahwa saat Rasulullah saw lahir, dia sangat gembira menyambut kelahirannya sampai-sampai dia merasa perlu membebaskan (memerdekakan) budaknya yang bernama Tsuwaibatuh Al-Aslamiyah.

Jika Abu Lahab yang non-muslim dan Al-Qur’an jelas mencelanya, diringankan siksanya lantaran ungkapan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW, maka bagaimana dengan orang yang beragama Islam yang gembira dengan kelahiran Rasulullah SAW?

SEJARAH RINGKAS

Perayaan Maulidur rasul telah diasaskan oleh kerajaan Fatimiah di Mesir. Kerajaan Fatimah telah merayakan perayaan ini secara besar-besaran. Bukan hanya hari jadi Rasulullah saw sahaja yang dirayakan, tetapi juga ahli keluarga Nabi saw seperti Zainab, Hassan, Hussain (r.a.). juga dirayakan. Bahkan mereka juga merayakan kelahiran Nabi Isa as.

Walaubagaimanapun, semua perayaan ini telah dihentikan pada tahun 488 atas perintah Perdana Menteri al-Afdal Shahindah pada ketika itu yang berpegang kuat pada sunnah seperti tercatit di dalam buku Al-Kamel, karangan Ibnu Al-Atheer. Masyarakat berhenti merayakannya sehingga Al-Ma’moon Al-Bataa’ni memegang kuasa kerajaan. Beliau telah yang memulakan kembali perayaan yang telah dihentikan sebelum itu.

Apabila Kerajaan al-Ayubbiah merampas kuasa, semua perayaan telah dihentikan. Namun begitu, masyarakat tetap merayakannya dikalangan keluarga mereka di dalam rumah. Pada Abad ke 7, Putera Muzafar Al-Deen Abi Sa’d Kawakbri Ibn Zein Ed-Deen `Ali- Ibn Tabakatikin telah mewartakan perayaan Maulid Nabi di Bandar Irbil. Beliau merupakan seorang sunni. Muzafar mengambil berat akan perayaan ini sehingga memerintahkan agar persediaan seperti mendirikan khemah, menghias khemah dan pelbagai lagi dilaksanakan seawal dan sebaik mungkin. Setiap kali selepas solat Asar, Muzafar akan menyaksikan perayaan ini di dalam khemah yang telah didirikan itu.

Perayaan diadakan pada 8 Rabiulawal dan kadang-kadang 12 Rabiulawal. Sambutannya diisikan dengan pelbagai acara antaranya membaca sejarah Nabi (s.a.w.) sehinggalah kepada menghias binatang ternakan untuk disembelih kemudian diadakan jamuan besar-besaran.

Berkata Ibnu Haajj Abu Abdullah Al-Abdari, perayaan tersebut tersebar luas di seluruh Mesir pada zaman pemerintahan Putera Muzafar ini. Beliau menentang akan perayaan yang diadakan. Banyak buku telah ditulis mengenai perayan Maulidur Rasul ini antara penulisnya ialah Ibn Dahya, meniggal dunia pada 633, Muhy Ed-Deen Ibn Al-`Arabi, meniggal di Damascus pada 683, Ibn Taghrabik, meniggal di Mesir pada 670, dan Ahmad Al-`Azli dan anaknya Muhammad, meniggal di Sebata pada 670.

Oleh kerana amalan bid’ah yang banyak ketika perayaan itu, ulama’ telah berbeza pendapat akan kebolehan merayakan Maulid Nabi ini. Pendapat pertama membolehkan perayaan ini manakala pendapat yang kedua mengatakan sebaliknya. Antara yang membolehkan ialah As-Siyooti, Ibn Hajar Al-`Asqalaani dan Ibn Hajar Al-Haythmi. Walaupun mereka bersetuju dengan perayaan ini, mereka tetap membangkang aturcara ketika Maulid itu(pada zamannya).

HUKUM MAULID

Seperti yang telah diketahui, perayaan Maulidur Rasul ini merupakan satu perayaan yang kontroversi. Ulama’ berbeda pendapat akan kebolehan perayaan ini. Kita sebagai masyarakat awam tersepit antara dua pendapat. Yang mana perlu kita turuti. Sedangkan kedua-dua belah pihak terdiri daripada ulama’-ulama’ yang hebat dan tidak boleh ditolak lagi akan kewibawaan mereka. Di dalam artikel ini, akan dilampirkan kedua-dua belah hujah setakat mana yang mampu dikumpulkan. Melalui cara ini, kita dapat menilai sendiri yang manakah mempunyai hujah yang kuat. Dan insya Allah, kita akan berada di jalan yang benar.

HUJAH MEMBOLEHKAN MAULIDUR RASUL

Antara ulama’ yang menyokong akan Maulidur Rasul ialah Imam Jalaluddin Sayuti dan Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan.

Telah berkata Imam Jalaluddin Sayuti: "Ibadat macam itu adalah bid'ah Hasanah (bid'ah baik) yang diberi pahala mengerjakannya kerana dalam amal ibadat itu terdapat suasana membesarkan Nabi, melahirkan kesukaan dan kegembiraan atas lahirnya Nabi Muhammad SAW yang mulia".

Dan berkata Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan: “Telah berlaku kebiasaan bahawa orang apabila mendengar kisah Nabi dilahirkan, maka ketika Nabi lahir itu mereka berdiri bersama-sama untuk meghormati dan membesarkan Nabi Muhammad saw. Berdiri itu adalah hal yang mustahsan (baik) kerana dasarnya ialah membesarkan Nabi Muhammad saw dan sesungguhnya telah mengerjakan hal serupa itu banyak dari ulama-ulama ikutan umat.”

Berkata pula Syeikh Atiah Saqr: “Saya berpendapat tidak menjadi kesalahan untuk menyambut maulid. Apatah lagi di zaman ini pemuda pemudi Islam semakin lupa dengan agama dan kemuliannya. Perlu juga diingat sambutan tersebut janganlah dicemari oleh perkara-perkara haram dan bid’ah. Seperti pergaulan antara lelaki dan wanita tanpa batas. Kita juga tidak sewajarnya menjadikan sambutan ini sebagai satu tradisi yang khusus, sehingga timbul dalam kefahaman masyarakat jika sesuatu acara tidak dilansungkan maka seseorang itu dikira telah berdosa dan melanggar syariat.”

Syeikh Yusuf Qardawi juga telah memberi komen mengenai maulid ini.
Beliau berkata(ringkasan): “Semua telah sedia maklum bahawa sahabat-sahabat Rasulullah saw tidak merayakan hari kelahiran Rasulullah saw. Ini adalah kerana mereka telah menyaksikan secara langsung setiap gerak-geri Rasulullah saw dan seterusnya ingatan terhadap Rasulullah saw itu kekal di dalam hati dan juga ingatan. Sa’d Abi Waqas mengatakan bahawa beliau begitu ghairah untuk menceritakan mengenai Rasulullah saw kepada kanak-kanak sama sepertiman keghairahan mereka mendidik anak-anak itu Al-Quran. Oleh kerana mereka sering menceritakan sejarah perjuangan Rasulullah saw, maka tidak perlulah mereka merayakan sepertimana dirayakan Maulid ar-Rasul kini.

Walaubagaimanapun, generasi terkemudian telah mula melupakan kegemilangan sejarah Islam dan kesannya. Dengan itu, perayaan Maulid Rasul ini diadakan bertujuan untuk mengingati sejarah Islam ketika Rasulullah saw masih hidup. Tetapi malangnya, Maulid Rasul ini telah bercampur dengan amalan bid’ah yang ditentang oleh Islam. Sebenarnya, meraikan hari kelahiran nabi bermakna meraikan hari kelahiran Islam.

Maka dibolehkan meraikan Maulid nabi ini dengan syarat tidak dicampur-adukkan dengan perkara-perkara bid’ah. Tetapi sebaliknya diisi dengan ceramah yang menceritakan akan sejarah Islam.”

Berikut adalah antara dalil-dalil yang menjadi hujah bagi yang membolehkan Maulid ini:

1) Allah berfirman: “maka orang yang beriman kepadanya (Muhammad saw) memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Quran) mereka itulah yang beruntung.” - Al-Araf: 157 Keterangan: Tujuan maulud diadakan adalah untuk memuliakan Nabi Muhammad saw. Maka perayaan maulud masuk dalam umum ayat tersebut.

2) Firman Allah: “Dan ingatkanlah mereka dengan hari-hari Allah.”-Ibrahim. Ayat 5 Keterangan: Al-Baihaqi di dalam “Syakbu al-Iman” daripada Ubai bin Kaab daripada Nabi saw, sesungguhnya baginda menafsirkan ‘hari-hari Allah’ ialah hari-hari nikmat dan kurniaan Allah. Al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani menjelaskan lagi dengan katanya “kelahiran Nabi saw merupakan nikmat yang paling besar.”

3) Bahawasanya Nabi Muhammad saw datang ke Madinah maka beliau mendapati orang-orang yahudi berpuasa pada hari Asyura iaitu hari 10 Muharram, maka Nabi bertanya kepada orang yahudi itu: “Kenapa kamu berpuasa pada hari Asyura?” Jawab mereka: “Ini adalah hari peringatan, pada hari serupa itu dikaramkan Firaun dan pada hari serupa itu Musa dibebaskan, kami berpuasa kerana bersyukur kepada Tuhan.” Maka Nabi berkata: “Kami lebih patut menghormati Musa berbanding kamu.” – [Riwayat Bukhari dan Muslim.]

Ibnu Hajar Al-Asqalani pengarang Syarah Bukhari yang bernama Fathul Bari berkata bahawa dari hadis ini dapat dipetik hukum: - Umat Islam dibolehkan bahkan dianjurkan memperingati hari-hari bersejarah, hari-hari yang dianggap besar umpamanya hari-hari maulud, mi’raj dan lain-lain. - Nabi pun memperingati hari karamnya Firaun dan bebasnya Musa dengan melakukan puasa Asyura sebagai bersyukur atas hapusnya yang batil dan tegaknya yang hak.
4) Dalam sahih Muslim daripada Abi Qatadah al-Ansari berkata: Nabi (s.a.w.) telah ditanya tentang puasa pada hari Isnin lalu baginda bersabda: “Di hari tersebutlah aku dilahirkan dan di hari tersebut jugalah aku diutuskan.” Keterangan: Rasul saw menegaskan kelebihan hari kelahirannya berbanding hari-hari lain. Oleh itu setiap mukmin sewajarnya berlumba-lumba beramal dan bersyukur dengan kelahiran baginda saw yang membawa rahmat kepada seluruh alam.

HUJAH MENENTANG MAULIDUR RASUL

Berikut antara pendapat yang menentang bersertakan hujah mereka:

1)Nabi Muhammad saw tidak pernah merayakan atau menyuruh umatnya untuk merayakan hari kelahirannya. Nabi saw telah menekankan agar jangan memperbesarkannya sepertimana orang kristian memperbesarkan Nabi Isa as. Ini dijelaskan di dalam hadis riwayat Bukhari:
Baginda bersabda, “Jangan memperbesarkan mengenai aku seperti Kristian memperbesarkan mengenai anak Maryam. Aku hanyalah hamba, jadi katakanlah, ‘hamba Allah dan pesuruh Nya.”(Au Qoma Qol)

Apa yang telah disuruh Rasulullah saw hanyalah menyuruh umatnya menjadikan hari kelahirannya satu hari untuk beribadat yang mana berbeza dengan perayaan. Bertepatanlah dengan hadis di bawah:
Dalam sahih Muslim daripada Abi Qatadah al-Ansari berkata: Nabi (s.a.w.) telah ditanya tentang puasa pada hari Isnin lalu baginda bersabda: “Di hari tersebutlah aku dilahirkan dan di hari tersebut jugalah aku diutuskan.”
“…Dan hendaklah kamu menjauhi perkara-perkara yang diada-adakan , kerana setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah , dan setiap bid’ah itu adalah sesat “ . [Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud]

2)Para sahabat Rasulullah dan juga umat Rasulullah saw pada 3 abad kemudian tidak pernah merayakannya walaupun merekalah orang yang lebih mencintai Rasulullah saw lebih dari umat terkemudian..

Hadis Imran bin Husain r.a: Rasulullah s.a.w bersabda: Sesungguhnya yang terbaik dari kalangan kamu ialah sezaman denganku, kemudian orang yang hidup selepas zaman aku, setelah itu orang yang hidup selepas mereka. Imran berkata: Aku tidak mengetahui kenapakah Rasulullah s.a.w menyebut selepas kurunnya sebanyak dua atau tiga kali. Selepas itu datang satu kaum yang di minta memberi penyaksian tetapi tidak di beri penyaksian, yang berkhianat sehingga tidak boleh dipercayai, yang suka bernazar tetapi tidak melaksanakannya dan sukakan kemewahan. Perayaan Maulid Nabi datang beberapa abad kemudian yang mana ciri-ciri Agama Islam yang sebenar sudah hilang dan bid’ah berleluasa.

3)Allah berfirman di dalam Al-Quran:
Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu,Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. "
Katakanlah, "Taatilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS. 3:31-32)

Ayat di atas menerangkan cara menunjukkan kasih sayang yang sebenar yang patut dilakukan kepada Rasulullah saw. Ayat yang pertama di atas menjelaskan bahawa cinta itu hanyalah pengakuan, tetapi buktinya ialah menuruti apa yang Rasulullah saw bawakan. Manakla ayat kedua menekankan kepentingan dalam menuruti kehendak Allah dan Rasul Nya. Allah menyudahi ayat di atas dengan ancaman yang keras bahawa sesiapa yang tidak mahu mentaati adalah kafir dan Allah tidak mencintai orang kafir.

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. (QS. 5:3)

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. 33:21)

4)Kata-kata sahabat Rasulullah saw:
Huzaufah Ibnu Al-Yamaan ra berkata : "Setiap ibadah yg tidak dilakukan oleh sahabat Rasulullah saw, maka janganlah melakukannya"

Dan berkata Ibnu Mas'ud :"Ikutlah (sunnah) dan jangan menambah, dan telah cukup bagi kamu - perbuatan yg lama (kekal dengan cara lama)"

Wa Allohu Wa Rosuluhu A’lam…